Sehidup, Semati (Part 1)

Aku ingin menceritakan kisah dua pasangan sejoli yang begitu aku kagumi, dan tentunya aku kasihi hingga hari ini.

Moment prosesi kremasi
Siapa lagi, kalau bukan mendiang Kakek dan Nenek.
Aku sendiri pun sebenarnya bingung, ingin menceritakan kisah mereka dari mana dan sampai mana. Tapi, aku akan menceritakan kisah terakhir mereka, yang tentunya aku pun menjadi bagian dari cerita ini.

Aku menceritakan tentang mereka saat ini, sudah pasti linangan air mata pun tak dapat terbendung mwehehe. But, aku akan mencoba bertahan hingga akhir.

Oke, lanjut.

Aku lupa kapan tanggal persisnya, kejadiannya bagaimana, Nenek mengalami cidera antara sambungan tulang paha kanan dan pinggulnya. Iya, beliau sudah tua, berdiri pun harus dibantu dengan tongkat bambunya, atau berpegangan pada tembok dan lainnya. Berjalan kaki pun begitu. Meski tubuhnya sudah renta, jalan membungkung, tapi penglihatan dan pendengarannya masih sangat tajam. Beliau tidak bisa diam (maklum orang tua), kalau pagi pasti pergi ke dapur dengan sendirinya, membawa tongkat, tertatih, berjalan pelan tapi pasti dan biasanya sampai masuk dapur dengan selamat.

Tapi, suatu saat, beliau pun terpeleset di depan dapur, sehingga mendapatkan cidera tersebut, dan inilah awal cerita dari semuanya.

Sebagai informasi awal, Kakek dan Nenek tidak tinggal di rumah orang tuaku, melainkan tinggal di kampung bersama pamanku (saudara Bapak yang tertua). By the way, sebenarnya itu adalah rumah Kakek dan Nenek, cuma karena mereka memiliki banyak anak, jadi anak yang paling tua disepakati untuk tinggal di rumah sana, sisanya harus bisa mencari penghidupan dan bangun rumah masing-masing di tempat rantauan (ya anggap saja merantau, meski masih menetap di satu pulau).

Jadi, ketika peristiwa itu terjadi, aku tentunya tidak di kampung. Anak beserta cucu yang tidak tinggal di kampung, baru mengetahui kabar itu beberapa hari setelahnya. Syok? Pasti dong. Kemudian, semua anak dan cucu mereka berkumpul, mengemukakan pendapat, Nenek harus dirawat seperti apa dan bagaimana, perdebatannya panjang, Kakek dan Nenek juga bersikeras dengan pendapat mereka. Akhirnya, Nenek tetap tinggal di kampung, namun anak atau cucu wajib bergiliran mengunjungi dan mengurus beliau. Entah itu membantu mandi, makan, dan lainnya. 

Bapak (anak ketiga) saat itu sangat kacau, dia ingin membawa Nenek ke Rumah Sakit, agar mendapatkan perawatan yang layak dan peluang sembuh dari cidera itu semakin besar. Namun, Nenek bersikeras tidak mau dan tidak mengijinkan kalau dirinya dibawa ke Rumah Sakit, dengan berbagai alasan yang bisa beliau buat. Kata pamanku, Nenek sudah diurut di hari yang sama saat beliau terpeleset itu. Namun, Bapak tetap khawatir, dan tetap berusaha membujuk Nenek agar mau dibawa ke Rumah Sakit.

Sampai beberapa bulan berlalu, Nenek seutuhnya tidak bisa bangun lagi, jangankan untuk berdiri, untuk duduk sendiri pun beliau kesakitan. Jadi, kalau Nenek mau makan, atau mandi dan aktivitas lainnya, harus dipegang, dibopong gitu. Intinya harus ada setidaknya 2 orang yang membantunya menggerakkan badan. Semakin hari, pahanya semakin membiru. Bapak tetap berusaha membujuk, tapi Nenek tetap menolak.

Kata Nenek kalau dia pergi ke Rumah Sakit, sudah pasti harus rawat inap. Biaya mahal, kasihan Kakek kalau ditnggal sendiri tidak ada Nenek yang menemani. Meski Nenek tidak bisa bangun, setidaknya beliau ada di rumah. Katanya juga, dia tidak mau merepotkan semua anak dan cucunya. Bapak pun berusaha menjelaskan terkait biaya, akan dan pasti diusahakan, setidaknya Nenek dapat perawatan yang lebih baik ketimbang di kampung. Terkait merepotkan anak atau cucu, memang sudah sepantasnya anak dan cucu bertanggung jawab untuk Nenek begitu pun Kakek. 

Tapi, mendengar semua bujukan dan penjelasan itu, Nenek tetap tidak bersedia untuk pergi ke Rumah Sakit.

Suatu malam, aku pulang kampung, sendirian. Ingin menjenguk Nenek dan Kakek. Mereka kalau malam itu suka berantem. Berantemnya bukan kayak anak muda zaman sekarang yang ribut tentang "kamu mau makan apa hari ini?" hahaha.
Nenek karena tidak bisa bangun, dia ingin dimanjakan oleh Kakek. Minta dikipasin sambil di pijit tangannya. Tapi, Kakek ogah-ogahan karena ingin menonton berita di Televisi. Jadilah, Nenek komplain, lalu cerita ke aku kalau Kakek itu suka nonton TV sampai subuh, tidurnya larut malam terus dan lainnya. Kakek mendengar aduan Nenek ya pasti menyangkalnya dong. Mereka cuma perang argumen seperti itu, hingga larut malam. Namun, ketika Kakek menuruti permintaan Nenek, mereka pun tertawa bersama lalu menceritakan kisah muda mereka yang terjadi di zaman dulu.

Dalam hatiku, aku merasa iri, melihat dan mendengar cerita masa muda mereka yang kalau aku nilai, hubungan mereka manis dengan segala lika liku yang dilewati, dan juga membahagiakan, meski aku tahu, zaman dulu itu hidup mereka kesusahan. Banyak anak, dibenci dan difitnah oleh ipar, diusir dari rumah utama, juga kisah lainnya. Tapi mereka bisa melewatinya bersama, penuh tangis dan pasrah itu sudah pasti, tapi di usia renta mereka, aku melihat senyuman itu merekah seakan kini mereka benar-benar bahagia. Padahal, aku menyadari, di usia renta ini pun hidupnya masih tertekan karena suatu alasan yang tidak bisa aku ungkap disini.

To be continue ~

S.y./12042022

Komentar