Hari pertama di Rumah Sakit, kaki Nenek diperban dan dipasang papan penopang kaki itu, aku tidak tahu namanya. Itu dipasang agar sambungan pinggul dan tulang pahanya tetap diam pada posisi yang seharusnya.
Petang itu, aku pulang kerja, langsung melipir ke Rumah Sakit, menjenguknya. Beliau masih bisa diajak komunikasi meski hanya mampu bilang "iya" saja dan "air" kalau merasa haus. Aku tidak bisa menginap dan menjaga beliau di Rumah Sakit karena aku harus bekerja esok harinya. Disana, aku hanya bisa memperhatikan beliau yang terkulai dengan kondisi yang semakin kurus, dan lemah. Aku sesekali merapikan dan membelai rambut putihnya yang penuh uban itu sembari berkata dalam hati "Nek, maafkan aku yang tidak bisa menjagamu dengan baik sehingga kamu harus mengalami ini". Sesekali Nenek tersadar sekedar untuk minta air minum lalu kembali terlelap dalam tidurnya.
Malam semakin larut, aku pamit pulang ke saudaraku yang menjaga Nenek.
Hari kedua, pulang kerja aku mejenguk Nenek lagi. Tapi hari itu Nenek sudah dipindahkan ke kamar yang lain dan terlihat salah satu jari tangannya terikat oleh perban ke pegangan ranjang tidur pasien. Hal itu dilakukan perawat karena tangannya tidak bisa diam, tanpa sadar beliau mulai berusaha mencabut jarum selang infusnya. Beliau mulai tidak bisa diajak komunikasi, lebih banyak diam dengan mata terpejam. Sesekali beliau linglung seperti sedang mengigau tetapi suaranya agak keras. Hari itu, aku mencoba menguatkan hati dan mendoakan beliau agar diberikan jalan yang terbaik. Aku tidak bisa berkata apapun lagi karena kondisi Nenek sudah seperti itu.
Lagi-lagi, tengah malam aku harus pulang, karena tidak bisa menginap. Aku mulai merasa berat ketika sadar harus meninggalkan Nenek di Rumah Sakit. Walaupun sudah ada yang menjaga, tetapi hatiku sungguh merasa kacau, khawatir yang tak berujung, dan marah karena aku harus bekerja esoknya.
Hari ketiga, aku pulang kerja lebih malam dari biasanya karena ada kegiatan di kantor. Aku menghubungi kakak sepupu yang bertugas menjaga Nenek hari itu. Katanya kondisi beliau masih sama seperti kemarin. Tidak ada kemajuan. Yah, kita semua menyadari, usia Nenek sudah terlalu tua, badan sudah ringkih, dirawat di Rumah Sakit seperti ini, agar Nenek mendapatkan nutrisi. Karena beliau sudah tidak mau makan di rumah selama beberapa hari. Aku menelfon kakak sepupuku, bilang kalau nanti aku ingin ke Rumah Sakit menjenguk Nenek seperti biasa. Tetapi, dia bersikeras melarangku untuk datang, karena sudah malam.
Waktu itu pukul 22.00 Wita, aku baru akan ke Rumah Sakit. Tapi, aku tidak diijinkan kesana. Bapak dan Ibu juga bilang, besok saja kesana karena sudah ada beberapa orang yang menemani Nenek.
Malam itu, aku menurut. Terpaksa menahan diri untuk tidak pergi ke Rumah Sakit, tapi hatiku sungguh berkecamuk. Seperti ada yang salah, seperti ada yang akan terjadi. Aku berdoa sembari menepuk dadaku yang terasa sangat sesak. Aku tidak tahu, kenapa rasa khawatirku mulai memuncah dan menyesakkan dada. Aku pun tidak bisa tidur, hingga aku hilang kesadaran dan kendali atas badanku. Aku ketiduran beberapa menit, dan tersentak kaget pada pukul 02.00 WIta karena telfonku berbunyi, serta pintu kamarku diketuk oleh Ibu.
Iya, kini aku tahu kenapa rasa khawatirku memuncah hingga menyesakkan dada. Nenek pergi meninggalkanku, tanpa sempat aku menyampaikan rasa terima kasih atas semuanya. Tanpa melihat wajahnya malam itu. Dia pergi meninggalkanku, selamanya.
Aku sangat terpukul, aku berusaha tersenyum dan menahan diri ketika Ibu bilang akan pergi ke Rumah Sakit bersama Bapak malam itu juga. Karena harus mengurus Nenek. Aku pun tinggal sendirian di rumah karena lagi-lagi alasan harus bekerja tidak bisa membuatku bebas untuk bertemu Nenek. Ibu dan Bapak pergi ke Rumah Sakit, aku pun menangis sejadi-jadinya hingga pagi datang di dalam kamarku.
Aku menangis, sangat lama. Aku menyalahkan diriku kenapa tidak pergi saja ke Rumah Sakit malam itu, jadi bisa melihat keadaan Nenek. Duniaku mendadak rasanya runtuh dan hatiku hancur. Aku belum pernah mengatakan seberapa besar rasa terima kasihku pada beliau. Beliau seperti seorang Ibu untukku. Dia menjagaku saat aku balita, mengajariku banyak hal, memanjakanku hingga aku dewasa, tidak pernah marah, sama sekali.
Aku hancur karena aku tidak ada disaat- saat terakhir beliau. Aku masih menyalahkan diriku dan menyesal hingga tulisan ini aku buat.
*air mataku sudah tidak terbendung mwehehe.
To be continue ~
S.y./12042022
Komentar
Posting Komentar