Silae adalah seekor anjing kesayangan keluargaku di rumah. Kami tinggal bersama kurang lebih selama 10 tahun. Akhir tahun lalu Silae sempat sakit kemudian mulai membaik di Maret 2022. Bulunya mulai tumbuh lebat, nafsu makannya pun balik normal lagi. Tapi, semua itu hanya sementara. Mendekati Juli 2022 Silae batuknya mulai intens, dan lebih sering bersin juga. Hingga pada akhirnya, bersinnya mulai disertai dengan darah yang keluar dari hidungnya. Semenjak itu, dia mulai diberi vitamin dan obat-obatan lagi. Namun akhir bulan Juli itu perutnya mulai membengkak, badannya mulai kurus lagi karena nafsu
makannya menurun. Makanan favoritnya pun hanya dimakan sedikit saja. Ibu dan
aku sering memberikan roti kesukaannya atau camilan lainnya tapi tidak dicicipi
olehnya sedikit pun. Karena makannya mulai jarang dan cuma sedikit porsinya,
pemberian obat pun aku putuskan untuk dicukupkan saja. Silae kondisinya mulai
melemah. Awal bulan Agustus 2022 dia mulai tidak mau melirik makanan atau roti
yang diberikan oleh orang rumah. Dia mulai mogok makan dan kondisi itu
berlangsung selama 3 hari. Dia cuma mau minum air saja. Tatapan matanya mulai
mengisyaratkan kalau dia lelah. Badannya ringkih, kurus, tapi perutnya semakin
besar dan itu semua membuatnya mulai sulit untuk berjalan. Jadi, dia lebih
banyak tiduran atau cuma sekedar duduk saja di satu tempat sembari melihat
aktivitas orang-orang di rumah.Silae
Awal Agustus itu aku terkena sakit flu dan batuk, juga
kondisiku saat itu agak drop. Tepatnya tanggal 6 Agustus 2022, malam itu setelah
selesai makan, aku mengelus kepala Silae yang sedang duduk menatapku dengan
tatapan lelahnya itu. Aku berkata padanya “Silae, jika kamu sudah merasa lelah,
dan memang jika sudah waktunya kamu pergi, silahkan pergi saja. Aku tidak mau
melihatmu kesakitan lagi lebih dari ini. Pergilah dengan tenang dan nyaman,
lepaskan semua kekhawatiranmu tentang aku dan orang-orang yang ada di rumah
ini. Pergilah jika itu bisa membuatmu lebih nyaman. Tugasmu sudah cukup sampai
disini saja untuk menjaga keluarga dan rumah ini. Terima kasih karena sudah
lahir dan sudah ada disini untuk menjaga semuanya selama ini. Maafkan aku juga
yang selama ini kurang baik dalam menjaga atau mengurusmu ya. Meski aku saat
ini sedang sakit, jika kamu memilih pergi saat kondisiku begini, aku tidak
masalah. Aku akan mengurus mayatmu dengan baik. Tapi, karena di sini tidak ada
tanah kosong, jadi kamu akan aku kremasi saja ya. Terima kasih banyak.
Lepaskanlah semuanya La, lalu pergilah ya. Oming sayang kamu”.
Setelah semua kalimat itu aku sampaikan, dia tetap menatapku
dengan tatapan sedih. Nafasnya yang tadinya berhembus cepat mulai berhembus
pelan. Badannya mulai melemas. Aku kembali ke kamar dan menangis sesenggukan
sepanjang malam. Berat sekali rasanya harus mengucapkan kalimat itu. Ibarat
kata, aku sudah mengucapkan kalimat perpisahan. Entah kapan dia akan
benar-benar pergi meninggalkanku. Sembari menangis, aku merasa bahwa Silae akan
pergi malam itu atau esok harinya. Ternyata benar, tanggal 7 Agustus 2022, pagi
hari, Silae pergi. Aku yang masih di dalam kamar, mendengar Ibu mengetuk pintu
kamarku dengan cepat lalu bilang kalau Silae sudah mati. Katanya baru saja,
sesaat sebelum Ibu hendak menggendongnya ke halaman rumah. Karena Ibu melihat
sepertinya Silae mau pipis, karena dia tidak bisa berjalan, Ibu mau
menggendongnya. Namun, dia sudah memilih untuk pergi mendahului niatan Ibu itu.
Ibu menangis, Bapak juga tidak bisa berkata-kata melihat Silae terbaring diam, lidahnya menjulur keluar, matanya terbuka, badannya basah karena terkena urinnya sendiri. Aku berusaha sekuat tenaga menahan tangisku. Aku sudah berjanji pada Silae bahwa aku akan mengurus mayatnya hingga akhir. Karena aku tahu betul, Ibu dan Bapak tidak akan sanggup mengurusnya karena mereka tidak berani dan tidak mau punya ingatan terakhir tentang Silae yang harus dikremasi itu. Jadi, aku menguatkan diri, meski badan masih belum pulih, aku menyiapkan tong sampah besi besar yang dibeli bapak beberapa hari sebelumnya. Aku juga mengumpulkan kayu dan potongan bambu yang bisa aku pakai untuk membakar Silae. Aku mengambil kain putih lalu membungkus Silae, menggendongnya ke halaman rumah, dan memasukkan ke dalam tong besi itu.
Kremasi pun dimulai. Butuh waktu dan proses yang cukup lama untuk membakar Silae. Saat malam hari, tong besi itu aku tutup rapat dan bara apinya aku biarkan tetap menyala. Semua prosesnya berlangsung hingga sore keesokan harinya. Ketika semua
badan Silae cuma menyisakan tulang dan abu, aku mulai mendinginkan semua bara
apinya dengan menyiramkan air ke dalam tong besi yang panas itu. Semua abunya
aku ambil kemudian aku hanyutnya di sungai dekat rumah.
Ditemani Ibu sore itu, aku pergi ke sungai membawa semua abu
dan sisa serpihan tulangnya Silae. Saat itulah, terakhir kali aku bisa
mengurusmu Silae. Aku menepati janji ku padamu.
Sebulan tanpa Silae, rumah terasa sepi.
Aku sendirian lagi tanpa sosoknya disini.
S.y./08092022
Komentar
Posting Komentar